At-Tawadlu’
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَاكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمُنَزَّهِ عَنْ
سِمَاتِ الْحُدُوْثِ وَاْلأَلْوَانِ وَالْكَيْفِيَّاتِ * اَشْهَدُ أَنْ
لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْغَنِيُ كُلِّ مَا سِوَاهُ وَالْمُفْتَقِرُ إِلَيْهِ
كُلُّ شَيْءِ فِى سَائِرِ الْمَخْلُوْقَاتِ * وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا سَيِّدُ الْمَخْلُوْقَاتِ * أَللَّهُمَّ صّلِّ وّسَلِّمْ
وَبَارِكْ عَلَى رَسُوْلِِِ اللهِ صَاحِبِ الْحَوْضِ وَالشَّفَاعَاتِ
* وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمُ الْمُفَضَّلِيْنَ
الْفَائِزِيْنَ بِأَنْوَاعِ الْخَيْرَاتِ * أَمَّا بَعْدُ – فَيَا عِبَادَ
اللهِ ! إِتَّقُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَاجْتَنِبُوْا
السَّيِّئَاتِ وَالْمُنْكَرَاتِ *
Jama’ah
Jum’at yang berbahagia;
Dari
atas mimbar yang megah ini, perkenankan saya mengajak kita semua, mari kita
berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita dan sekaligus
mengaplikasikannya dalam setiap derap langkah kehidupan kita. Semoga dengan
keimanan dan ketaqwaan itu akan membimbing jalan hidup kita sehingga kita dapat
mencapai keridoan Allah swt. Selanjutnya, sebagai umat Nabi Muhammd yang telah
menikmatu hasil pejuangannya membangun dan menyebarkan ajaran Islam hingga
samapi kepada kita, mari kita ucapkan solawat dan salam kepada beliau:
أَللَّهُمَّ صّلِّ وّسَلِّمْ
وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ اْلأَنْبِيَاءِ
وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
Jama’ah
Jum’at rohimakumullah
Sungguh
Maha Kasih Allah swt kepada hamba-Nya, umat manusia. Kendatipun pada awal
penciptaannya, manusia diciptakan dari tanah yang tidak berharga dan pada
penciptaan berikutnya manusia diciptakan dari perpaduan antara sperma dan
laki-laki (ayah) dan ovum perempuan (ibu) yang menjijikkan, Allah swt
menciptakan manusia dengan penciptaan yang sempurna. Anatomi yang tersusun
mengagumkan, memfasilitasi manusia untuk berkarya dan berprestasi.
Lebih
menakjubkan lagi, tidak satupun diantara makhluk ciptaannya itu yang sama
persis. Sejuta manusia yang Ia ciptakan sejuta rupa pula yang ia adakan, tidak
pernah seorang ibu tertukar anaknya karena tidak bisa memedakannya. Semua
diciptakan dengan rupa dan karakter yang berbeda-beda dengan kelebihan dan
kekurangan yang beragam pula. Allah memberikan penjelasan dalam al-Qur`an surat
al-Tin 95 ; 4 sebagai berikut:
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَـانَ فِي
أَحْسَـنِ تَقْـوِيمٍ (4)
Disamping
pencipataan manusia dengan anantomi yang indah dan rupa yang menawan, Allah pun
menganugerahkan kemulian dasar, kemuliaan generic, kepada setiap manusia yang
dilahirkan. Firman Allah secara tegas terdapat dalam al-Qur`an surat al-Isro`
17 : 70:
وَلَقَدْ كَـرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ
وَحَمَـلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَـحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَـاتِ
وَفَضَّـلْنَاهُمْ عَلَى كَـثِيرٍ مِمَّنْ خَـلَقْنَا تَفْضِـيْلاً (70)
Ayat
Allah ini betul-betul menegaskan dan memastikan bahwa tidak seorangpun diantara
manusia yang dilahirkan di muka bumi ini dalam keadaan hina. Oleh karena
itu, tidak ada satupun manusia berhak memnghina manusia lainnya. Untuk
kemuliaan itu Allah swt lengkapi manusia dengan soft were yang super canggih
yang disebut akal atau ratio. Dengan akal yang terbimbing dan terpimpin serta
bertumpu pada nurani yang disinari hadayah Allah yang dilengkapi dengan
tuntunan ilmu pengetahuan yang memadai, maka akan memungkinkan bagi manusia
untuk menjalankan fungsi dan tugas kekhalifahannya di muka bumi ini secara
benar dan bertanggung jawab.
Masih
dalam rangka menjaga dan melempangkan kemulian dan martabat kemanusiaan itu,
sekalipun ramat dan karunia yang dianugerahkan kepada manusia sudah tidak
terhitung jumlahnya, namun beban dan kewajiban yang diberikan sungguh tidak
sebnding dengan karunia yang diterimanya. Dengan bahasa lain tidak akan pernah
cukup ibadah atau pengabdian seorang hamba untuk menebus karunia yang pernah ia
terima dari Tuhannya. Kendatipun Allah swt berkehendak memikulkan beban kepada
hamba-Nya, namun jika beban standar yang dipikulkan itu tidak mampu
dilaksanakan oleh hamba-Nya, maka akan ada pengecualian atau rukhsoh sehingga
beban dilakukan sesuai kemampuan yang bersangkutan. Di dalam al-Qur`an surat al-Baqoroj
2: 268 Allah swt berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ
تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا
إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا
مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
Di
dalam surat al-Nisa` 4 : 28 juga ditegaskan dan diakui bahwa Allah swt
bermaksud meringankan beban manusia berdasarkan pertimbangan bahwa manusia,
disamping kemliaannya, memiliki kekurgan dan kelemahan.
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ
عَنْكُمْ وَخُلِقَ اْلاِنْسَانُ ضَعِيفًا(28)
Memang
harus disadari dan diakui, bahwa betapapun mulianya manusia dalam ciptaan Allah
Allah swt, tetap saja ada kelemahan dan kekurangan yang menyertainya. Kiranya
kelemahan itu sudah terbukti sejak orang tua kita Adam dan Hawa tinggal di
surga. Diantara kelemahan manusia adalah terkadang tidak mampu menghadapi dan
menahan godaan sebagai mana dialami oleh leluhur kita Adam dan Hawa.
Ketidakmampuan menahan godaan setan menggiring mereka berdua terusir dari
singgasana surga lalu tercampak ke dunia.
Begitu
pula dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan akhir-akhir ini, tidak
sedikit diantara kita orang yang terjerembat kelembah kehinaan dan kesengsaran
karena terseret oleh dahsyatnya arus godaan dunia.
Hal
lain yang sering menjatuhkan martabat dan kemuliaan manusia adalah tiga
serangkai sifat buruk, yaitu العجب,
والتكبر, والتفاخر (ujub
sombong, merasa bangga dengan diri sendiri). Sifat ujub dimulai dari kegemaran
kita melihat dan memuji diri sendiri dengan memfokskan pada kelebihan dan dan
keberhasilan (prestasi) tanpa membanding-bandingkan dengan orang lain. Ujub ini
apa bila ditambah dengan keemaran merandahkan orang lain, maka ujub itu
meningkat kualitasnya menjadi takabur. Apa bila takabbur ditambah dengan
kebanggaan-kebanggaan yang berlebihan makan menjadilah ia soifat tafakhur.
Ketiga sikap yang berjenjang ini merupakan penyakit hati yang dahsyat, yang apa
bila sudah tumbuh di dalam hati tidak mudah mengatasi apa lagi membasminya.
Sebagai
contoh proses lahirnya ujub, takabbur, dan tafakhur dapat dilihat pada ungkapan
berikut ini: “Sungguh hebat saya ini, hartaku berlimpah, amal solehku banyak,
dosaku sedikit”. Di saat itu dia sudah mengantongi sifat ujub. Namun jika ia
berkata: “Aku ini hebat, aku lebih kaya dari pada si fulan, dia itu miskin,
amal solehku lebih banyak dari dari dia sementara dosanya labih banyak dari
dosaku”, maka ketika itu ujubnya sudah meningkat menjadi takabbur. Apa bila ia
perkataannya ia lanjutkan dengan: “Kamu tidak usah mimpi untuk menyaingi
kekayaan dan amal solehku, karena kamu tidak akan mampu”, maka sesungguhnya
pada waktu itu ketakabburan yang bersangkutan telah meningkat menjadi tafakhur.
Orang
yang memiliki tiga sifat buruk diatas pada mulanya bermaksud untuk menambah
kemuliaan dan martabatnya, tetapi sesungguhnya ujub dan kesombongan itu
sepanjang sejarah telah terbukti justru akan menjatuhkan kemuliaan dan martabat
kemanusiaan. Firun dan Namrud merupakan dua contoh korban kesombongan dan
keangkuhan.
Betapapun
kecilnya kesombongan atau ketakabburan yang bersemayam di lubuk hati kita,
kiranya tetap akan membawa dampak buruk bagi diri dan keluarga, serta
lingkungan. Sungguh kesombongan akan membuahkan kebencian dan ketidaksenangan
dan bahkan akan memunculkan sikap anti pati mansuia lain terhadap dirinya.
Lebih dari itu, Allah swt menyatakan ketidaksukaannya terhadap orang-orang yang
sombong. Firman-Nya dalam al-Qur`an surat al-Nahl 16 : 23:
لاَ جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ(23)
Dalam
surat al-Nahl 16 : 29 lebih tegas Allah swt berfirman:
فَادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا فَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ(29)
Sebagai
mana diuraikan di atas bahwa ifat sombong itu datangnya perlahan-lahan sehingga
sering tidak terasakan, bahkan hampir-hampir tidak disadari. Kesombongan itu
menyelinap dibilik hati kita, terkadang berbaju keindahan, terkadang berbusana
kekuatan dan terkadang tampil seperti satria penolong, dan bahkan terkadang
hadir sebagai orang yang mengerti agama dan berupaya melawan syri’at dengan
berpura-pura mengkajinya. al-Mu’min
40 : 56
إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي
ءَايَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْـطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلاَّ
كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ(56)
Sesungguhnya
orang-orang yang memperdebatkan ttentang ayat-ayat Allah swt tanpa aargumn yang
sampai kepada mereka, tidak ada dalam dada mereka kecuali (keinginan akan)
kebesaran yang mereka sekali-kali tidak akan mencapainya, maka mintalah
perlindungan kepada Allah swt. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.
Mereka
yang di dalam hatinya, baik disadari maupun tidak disadari, terdapat
benih-benih kesombongan, sekecil apapun adanya, niscaya tidak akan
diperkenankan Allah swt mencicipi syurga apa lagi memasukinya. Mari kita secara
bersama-sama memperhatikan sabda Rosulullah saw yang dinukil dalam sebuah hadis
beliau:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ
فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.
Lebih
tegas lagi firman Allah dalam al-Qur`an surat al-Mu’min 40 : 76 yang
berbunyi:
ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ(76)
Hadirin
Penjelasan
ayat-ayat dan hadis di atas kiranya cukup untuk mengingatkan kita jika kita
belum terkonstaminasi oleh bibit-bibit kesombongan. Begitu pula dengan muatan
ancaman yang terkandung dalam ayat dan
hadits ini kiranya memadai untuk menyadarkan kita apa bila di dalam hati kita
telah tercemar oleh virus-virus kesombongan. Rasa takut kita terhadap
dahsyatnya siksa neraka mungkin akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan
kesombongan, sementara kerinduan yang mendalam kita kepada kenikmatan syurga akan
menjadi pertimbangan bagi kita untuk segera meninggalkan dan menjauhi
kesombongan yang sesunguhnya tidak pernah menguntungkan.
Karena
takut akan siksa akibat dari kesombongan, seorang sahabat, ketika mendengar
hadis di atas lalu bertanya dan meminta penjelasan lebih lanjut dari Rosulullah
saw. Sahabat itu berkomentar:
إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ اَنْ
يَكُوْنَ ثَوْبَهُ حَسَنًا وَنَعْلَهُ حَسَنَةً
Mendengar
komentar sahabatnya itu lalu Rosulullah saw memberikan penjelasan singkat
tetapi memuaskan melalui sabda beliau:
قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ
الْجَمَالَ, اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ (مسلم)
Hadirin
Untuk
membentengi diri dari intervensi kesombongan dalam bersikap dan berprilaku
dalam kehidupan sehari-hari, sebaiknya, bahkan seharusnya, kita memilih dan
membangun sikap tawadlu’ di dalam diri kita masing-masing. Kembali kepada sikap
tawadlu’ merupakan langkah yang bijaksana dan terpuji serta aman dan
menyenangkan, lebih-lebih bila dihubungkan dengan keadaan kehidupan di zaman
modern yang penuh dengan godaan yang menyilaukan.
Hadirin
Tawadlu’ adalah suatu sikap yang menunjukkan
kerendahan hati seseorang. Dengan demikian tawadlu’ merupakan lawan dari sikap
tinggi hati. Sikap tinggi hati selalu muncul dalam bentuk kesombongan. Oleh
karena itu, tawadlu’ bukanlah sikap atau rasa rendah diri, tetapi tawadlu’ adalah
lawan dari ujub, takabbur, dan tafakhur. Memilih tawadlu’ berarti menghindari
ujub membuang takabbur dan memusnahkan tafakhur, mengambil ujub, takabbur dan
tafakhur berarti mencampakkan tawadlu’. Kalau ujub, takabbur, dan tafakhur akan
mendorong orang untuk masuk neraka, maka tawadlu’ berarti menutup salah satu
pintu neraka.
Untuk
menguraikan pengertian tawadlu’ sehingga menjadi jelas da konkrit tentulah
tidak mudah, karena tawadlu’ pusatnya berada di dasar hati yang terdalam. Yang
paling memungkinkan adalah menjelaskan fenomena-fenomena yang menunjukkan
sebuah sikap tawadlu’ atau sikap rendah hati yang ada pada seseorang. Untuk
mengurai penjelasan itu dalam sebuah pertanyaan dikatakan: “Kapan seseorang
dapat disebut bersifat tawadlu’ atau rendah hati”? orang bijak akan menjawab:
“Ketika seseorang merasa tidak memiliki kelebihan padahal sesungguhnya dia
lebih dan tidak merasakan adanya orang yang lebih rendah dari pada dirinya
kendatipun sesungguhnya di lebih tinggi dari orang lain, dia tidak akan tampil
berlebihan sekalipun sesungguhnya dia mampu melakukannya. Ia lakukan segala
sesuatunya semata-mata karena ketundukan mereka kepada Allah swt.
Keikhlasan
itu pula yang menyebabkan yang bersangkutan berhak menerima ganjaran dan
penghargaan yang amat tinggi dan prestisius dari Allah swt
من ترك اللباس تواضعا لله تعلى وهو
يقدر عليه دعاه الله يوم القيامة رؤوس الخلائق حتى يُخَيِّره من ايِّ خُلَلِ
اْلإِيمان شاء يلبسه (الحاكم)
Untuk
menjelaskan lebih dalam tentang tawadlu’ saoyidina Umar bin Khottob ra
menjelaskan:
قال عمر ابن الخطاب: رأس التواضع أن
تبتدئ بالسلام على من لقيته من المسلمين, وأن ترضى بالدون من المجلس, وأن تكره أن
تذكر بالبر والتقوى (درة الناصحين: 154)
Ketiga
sikap diri yg dikemukakan oleh Umar ibnu Khotob ini bukan hal yang mudah untuk
dilakukan, tetapi membutuhkan latihan yang intensif. Ditengah kehidupan yang
cenderung matererialistis ini sering kita jumpai dan kita saksikan betapa
orang, atau justru diri kita sendiri, lebih senang menjawab salam
ketimbang memberi atau memulai salam. Ada kemungkinan sikap enggan memulai ini
disebabkan adanya perasaan bahwa dirinya lebih tinggi dari orang lain sehingga
dalam anggapannya orang lainlah yang seharusnya memulai salam kepadanya.
Juga
tidak sedikit orang yang tersinggung atau merasa dilecehkan ketika ia
ditempatkan dibelakang disuatu forum atau majlis karena ia merasa dirinya lebih
terhormat dan lebih pantas untuk dihormati, padahal hal penempatan itu terjadi
hanya karena yang bersangkutan terlambat datang. Ada pula diantara kita yg
justru merasa sengan jika dirinya disebut-sebut sebagai orang baik, orang
berjasa dan lain sebagainya.
Rosulullah
Saw bersabda: bertawadu’lah, dan duduklah bersama orang-orang miskin, niscaya
kamu menjadi orang-orang yang besar disisi SWT dan terlepas dari sifat sombong
dan angkuh.
Latihan
tawadlu’ dapat diawali dengan duduk bersama dengan pembantu.untuk mendukung
konsep ini ada riwayat dari Qois bin Hazim yenjelaskan peristiwa yang
dialami oleh Khalifah ke dua, Umar Ibnu Khottob; kisahnya demikian.
Saiyidina
Umar Ibnu Khottob, ketika bepergian menuju kota Syam, dalam rangka kunjungan
kerja, bersama dengan pembantunya dengan menunggang seekor kuda. Mereka sadar
betul bahwa jika mereka berdua bersama-sama duduk menunggang kuda adalah
merupakan kezoliman terhadap kuda tersebut, maka mereka berdua, Umar Ibnu Khottob
dan pembantunya sepakat untuk bergilir atau bergantian menunggang kuda
tersebut. Ketika memulai perjalanan Umar Ibnu Khottob mendapat giliran pertama
menunggang kuda sementara pembantunya mendapat gilian pertama membimbing kuda
itu. Selama dalam pejalan mereka secara rutin bergantian sesuai dengan
kesepakatan. Akan tetapi keitika menjelang sampai di tujuan, dalam hal ini
kotaSyam, giliran menunggang kuda jatuh kepada pembantunya, ementara Umar Ibnu
Khottob mendapat giliran membimbing kuda. Tidak ada perasaan di hati mereka
masing-masing kecuali ikhlas menjalankan kesepakatan yang telah mereka bangun
bersama. Namun, ternyata di depan pintu gerbang kota, telah berdiri Abu
‘Ubaidah, salah seorang pembesar kota Syam yang bermaksud menyambut dengan Umar
Ibnu Khottob di kota itu. Melihat kejadian, itu lalu Abu Ubaidah berkata kepada
Umar Ibnu Khottob: Wahai Kholifah, para pembesar kota Syam pada saat itu
berkumpul di balai sidang untuk menyambut Kholifah, maka adalah tidak pantas
apa bila nanti mereka melihat kejadian ini, bagai mana komentar mereka nanti.
Mendengar
perkataan yang bernuansa keluhan structural dari Abu Ubaidah itu, lalu Umar
Ibnu Khottob menjawab:
إنما أعزنا الله بالإسلام, فلا أبالى
من مقالة الناس .
Ternyata
dalam pikiran dan prinsip Umar Ibnu Khottob bahwa rendah hati tidak akan
menghinakan seseorang.
Dalam
kejadian berikutnya Umar mengaplikasikan kembali sikap tawadlu’nya dengan
kesediaannya memikul ember berisi air lalu diberikan kepada tetangganya demi
untuk menutup rapat-rapat pintu hatinya dari invasi dan interpensi benih-benih
kesombongan. Kiranya ketawadlu’an Umar telah membangun pengertian dan kesadaran
bahwa pujian dan sanjungan rakyatnya dapat berakibat memunculkan sikap sombong
dan angkuh pada dirinya.
Hadirin.
Untuk
memperkaya hazanah kita tentang tawadlu’ ini, mari kita ungkap sekelumit
wejangan Ibrohim bin Syaiban dalam kata-kata hikmahnya:
“Ketinggian itu ada di dalam ketawdlu’an, kemulyaan ada di dalam ketaqwaan,
kebebasan/kemerdekaan ada di dalam sikap qana’ah.
الخطبة الثانية
الحمد لله حمدا حامدين والشكر لله
شكرا شاكرين – اشهد أن لاإله الله المالك الحق المبين – وأشهد أن محمدا عبده صادق
الوعد الأمين – اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد خاتم الأنبياء والمرسلين وعلى
آله وأصحابه أجمعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين – أما بعد فياعباد الله –
إتقوا الله ولا تموتن إلا وأنتم متمسكين بالدين.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم,
ونفعني وإياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم, وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو
السميع العليم, أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين
والمسلمات, فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.