Sabtu, 02 Maret 2013

Makalah Filsafat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah filsafat berasal dari dua suku kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu phile atau philos yang berarti cinta atau sahabat, dan sophia atau sophos yang berarti kebijaksanaan. Kedua suku kata tersebut membentuk kata majemuk philosophia. Dengan demikian, berdasarkan asal usul philosophia (filsafat) berarti cinta kepada kebijaksanaan atau sahabat kebijaksanaan. Karena istilah philosophia dalam bahasa Indonesia identik dengan istilah filsafat, maka untuk orangnya, yaitu orang yang mencintai kebijaksanaan disebut filsuf.
Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.
Di zaman Yunani, filsafat bukan merupakan suatu disiplin teoritis dan spesial, akan tetapi suatu cara hidup yang kongkret, suatu pandangan hidup yang total tentang manusia dan tentang alam yang menyinari seluruh kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan kehidupan atau perkembangan peradaban manusia dan problema yang di hadapinya, pengertian yang bersifat teoritis seperti yang di lahirkan filsafat Yunani itu kehilangan kemampuan untuk memberi jawaban yang layak tentang kebenaran peradaban itu telah menyebabkan manusian melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran dan pendidikan.
Perubahan itu mendorong manusia memikirkan kembali pengertian tentang kebenaran. Sebab setiap terjadi perubahan dalam peradaban akan berpengaruh terhadap sistem nilai yang berlaku, karena antara perubahan peradaban dengan cara berfikir manusia terdapat hubungan timbal balik.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa maupun karsanya agar dasar kependidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Karenanya pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan, melalui filsafat kependidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
B.     Permasalahan
  1. Apa yang dimaksud filsafat pendidikan
  2. Apa saja ruang lingkup filsafat pendidikan
  3. Hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan

C.    Manfaat
  1. Dapat menjadi suatu bekal bagi para pendidik untuk menghadapi masalah dalam pendidikan.
  2. Mahasiswa agar dapat memahami secara menyeluruh mengenai filsafat pendidikan.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Filsat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosof dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara peraktis.
Menurut Jhon Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fudamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju tabiat manusia. Menurut Imam Barnadib filsafat pendidikan merupakan ilmu uang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidilkan. Baginya filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu analisis filosof terhadap pendidikan.
Untuk mendapatkan pengertian filsafat pendidikan yang lebih sempurna (jelas), ada baiknya kita melihat beberapa konsep mengenai pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah bimbingan ecara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani anak didikmenuju terbentuknya manusia yang memiliki yang utama dan ideal.
Dalam pandangan Jhon Dewey, pendidikan adalah sebagai proses pembentukan  kemampuan dasar yang fudamental, yang menyangkut: daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi). Dalam hubungan ini Al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat kita tarik suatu pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah norma-norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Filsafat, jika dilihat dari fungsinya secara peraktis, adalah sebagai sarana bagi manusia untuk dapat memecahkan berbagai problematika kehidupan yang dihadapinya, termasuk dalam problematika dalam pendidikan. Oleh karena itu di simpulkan bahwa filsafat merupakan arah dan pedoman atau pijakan dasar bagi ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan yang merupakan penerapan analisis filosofis dalam lapangan pendidikan .
B.     Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Filsafat adalah studi secara kritismengenai masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan manusia dan merupakan alat dalam mencari jalan keluar yang terbaik agar dapat mengatasi semua permasalahan hidup dan kehidupan yang dihadapi. Dalam pengertian yang luas, filsafat bertujuan memberikan pengertian yang dapat diterima oleh manusia mengenai konsep-konsep hidup secara ideal dan mendasar bagi manusia agar mendapatkan kebahagian dan kesejahteraan.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup filsafat adalah semua lapangan pemikiran manusia yang komprehensif. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar ada (nyata), baik material konkret maupun nonmaterial (abstrak). Jadi, objek filsafat itu tidak terbatas.
Secara makro, apa yang menjadi objek pemikiran filsafat, yaitu permasalahan kehidupan manusia, alam semesta, dan alam sekitarnya, juga merupakan objek pemikiran filsafat pendidikan. Namun secara mikro, ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
  1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education)
  2. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man).
  3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.
  4. Merumuskan secara hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, teori dan pendidikan.
  5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan)
  6. Merumuskan sistem sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.
Dengan demikian, dari uraian di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan yang baik dan bagai mana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang di cita-citakan.
C.    Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan
Filsafat yang dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa, termasuk aspek pendidikan. Filsafat pendidikan yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang dianut oleh satu bangsa. Sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat itu sendiri. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem-sistem norma tingkah laku yang didasarkan pada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Untuk menjamin upaya pendidikan dan proses tersebut efektif, dibutuhkan landasan-landasan filosogis dan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.
Menurut Jhon Dewey, filsafat merupakan teori umum, sebagai landasan dari semua pemikiran umum mengenai pendidikan. Dalam kaitan ini, hasan langgulumg berpebdapat bahwa filsafat pendidikan adalah penerapan metode dan pandangan filsafat dalam bidang pengalaman manusia yang disebutkan pendidikan.
Selanjutnya Al-Syaibani secara teperinci menjelaskan bahwa filsafat pendidikan merupakan usaha mencari konsep-konsep di antara gejala yang bermacam-macam, meliputi
  1. Proses pendidikan sebagai rancangan terpadu dan menyeluruh.
  2. Menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang semua istilah pendidkan.
  3. Pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang kehidupan manusia.
Hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan menjadi sangat penting sekali, sebab ia menjadi dasar, arah, dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan dan menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Jadi, terdapat kesatuan yang utuh antara filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman manusia.
Filsafat menetapkan ide-ide, idealisme, dan pendidikan merupakann usaha dalam merealisasikan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, bahkan membina kepribadian manusia. Kilpatrik mengatakan, berfilsafat dan mendidik adalah adalah dua face dalam satu usaha; berfilsafat ialah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik ialah usaha mereliasasikan nilai-niali dan cita-cita itu dalam kehidupan, dalam kepribadian manusia.mendidik ialah mewujudkan nilai-nilai yang dapat disumbangkan filsafat, dimulai dengan generalisasi muda, untuk membimbing rakyat, membina nilai-nilai dalam kepribadian mereka, demi menemukan cita-cita tertinggi suatu filsafat dan melembagakannya dalam kehidupan mereka.
Lebih lanjut, Burner dan Bruns mengatakan secara tegas bahwa tujuan pendidikan adalah tujuan filsafat yaitu untuk membimbing ke arah kebijaksanaan. Oleh kerena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah reliasi dari ide-ide filsafat; filsafat memberi asas kepastian bagi peranan pendidikan sebagai wadah pembinaan manusia yang telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas pendidikan jadi, filsafat pendidikan merupakan jiwa dan pedoman dasar pendidikan.
Dari uraian di atas, diperoleh hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan berikut:
  1. Filsafat, dalam arti filosofis, merupakan satu cara pendekatan yang dipakai dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teorinpendidikan oleh para ahli.
  2. Filsafat, berfungsi memberi arah begi teori pendidikan yang telah ada menurut aliran filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata.
  3. Filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan.
Menurut Ali Saifillah, filsafat pendidikan, dan teori pendidikan terdapat hubungan yang suplementer: filsafat pendidikan sebagai suatu dua fungsi tugas normatif ilmiah yaitu:
  1. Kegiatan merumuskan dasar-dasar, tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi pendidikan.
  2. Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat.
Dari uraian di atas, kita  dapat menarik kesimpulan bahwa antara filsafat pendidikan dan pendidikan terdapat suatu hubungan yang erat sekali dan tak terpisahkan. Filsafat pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam sistem pendidikan karena filsafat merupakan pemberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan landasan kokoh bagi tegaknya sistem pendidikan.
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
  1. Filsafat pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah norma-norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
  2. Ruang lingkup filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan yang baik dan bagai mana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang di cita-citakan.
  3. Filsafat pendidikan dan pendidikan terdapat suatu hubungan yang erat sekali dan tak terpisahkan. Filsafat pendidikan mempunyai peranan yang amat penting dalam sistem pendidikan karena filsafat merupakan pemberi arah dan pedoman dasar bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan landasan kokoh bagi tegaknya sistem pendidikan.














DAFTAR PUSTAKA
Dr.H.Wr. Hendra Saputra,M.Hum. 2008. Pengantar Filsafat Pendidikan. PSB FKIP UHAMKA:  Jakarta
Tatang Syarifudin, 2006.  Pengantar Filsafat Pendidikan. Percikan Ilmu: Bandung

Jumat, 01 Februari 2013

Khutbah Jumat



At-Tawadlu’
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَاكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمُنَزَّهِ عَنْ سِمَاتِ الْحُدُوْثِ وَاْلأَلْوَانِ وَالْكَيْفِيَّاتِ * اَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْغَنِيُ كُلِّ مَا سِوَاهُ وَالْمُفْتَقِرُ إِلَيْهِ كُلُّ شَيْءِ فِى سَائِرِ الْمَخْلُوْقَاتِ * وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا سَيِّدُ الْمَخْلُوْقَاتِ * أَللَّهُمَّ صّلِّ وّسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى رَسُوْلِِِ اللهِ صَاحِبِ الْحَوْضِ وَالشَّفَاعَاتِ * وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمُ الْمُفَضَّلِيْنَ الْفَائِزِيْنَ بِأَنْوَاعِ الْخَيْرَاتِ * أَمَّا بَعْدُ – فَيَا عِبَادَ اللهِ ! إِتَّقُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَاجْتَنِبُوْا السَّيِّئَاتِ وَالْمُنْكَرَاتِ *
Jama’ah Jum’at yang berbahagia;
Dari atas mimbar yang megah ini, perkenankan saya mengajak kita semua, mari kita berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita dan sekaligus mengaplikasikannya dalam setiap derap langkah kehidupan kita. Semoga dengan keimanan dan ketaqwaan itu akan membimbing jalan hidup kita sehingga kita dapat mencapai keridoan Allah swt. Selanjutnya, sebagai umat Nabi Muhammd yang telah menikmatu hasil pejuangannya membangun dan menyebarkan ajaran Islam hingga samapi kepada kita, mari kita ucapkan solawat dan salam kepada beliau:
أَللَّهُمَّ صّلِّ وّسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
Jama’ah Jum’at rohimakumullah
Sungguh Maha Kasih Allah swt kepada hamba-Nya, umat manusia. Kendatipun pada awal penciptaannya, manusia diciptakan dari tanah yang tidak berharga dan pada penciptaan berikutnya manusia diciptakan dari perpaduan antara sperma dan laki-laki (ayah) dan ovum perempuan (ibu) yang menjijikkan, Allah swt menciptakan manusia dengan penciptaan yang sempurna. Anatomi yang tersusun mengagumkan, memfasilitasi manusia untuk berkarya dan berprestasi.
Lebih menakjubkan lagi, tidak satupun diantara makhluk ciptaannya itu yang sama persis. Sejuta manusia yang Ia ciptakan sejuta rupa pula yang ia adakan, tidak pernah seorang ibu tertukar anaknya karena tidak bisa memedakannya. Semua diciptakan dengan rupa dan karakter yang berbeda-beda dengan kelebihan dan kekurangan yang beragam pula. Allah memberikan penjelasan dalam al-Qur`an surat al-Tin 95 ; 4 sebagai berikut:
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَـانَ فِي أَحْسَـنِ تَقْـوِيمٍ (4)
Disamping pencipataan manusia dengan anantomi yang indah dan rupa yang menawan, Allah pun menganugerahkan kemulian dasar, kemuliaan generic, kepada setiap manusia yang dilahirkan. Firman Allah secara tegas terdapat dalam al-Qur`an surat al-Isro` 17 : 70:
وَلَقَدْ كَـرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَـلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَـحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَـاتِ وَفَضَّـلْنَاهُمْ عَلَى كَـثِيرٍ مِمَّنْ خَـلَقْنَا تَفْضِـيْلاً (70)
Ayat Allah ini betul-betul menegaskan dan memastikan bahwa tidak seorangpun diantara manusia yang dilahirkan di muka bumi ini dalam keadaan hina. Oleh karena itu,  tidak ada satupun manusia berhak memnghina manusia lainnya. Untuk kemuliaan itu Allah swt lengkapi manusia dengan soft were yang super canggih yang disebut akal atau ratio. Dengan akal yang terbimbing dan terpimpin serta bertumpu pada nurani yang disinari hadayah Allah yang dilengkapi dengan tuntunan ilmu pengetahuan yang memadai, maka akan memungkinkan bagi manusia untuk menjalankan fungsi dan tugas kekhalifahannya di muka bumi ini secara benar dan bertanggung jawab.
Masih dalam rangka menjaga dan melempangkan kemulian dan martabat kemanusiaan itu, sekalipun ramat dan karunia yang dianugerahkan kepada manusia sudah tidak terhitung jumlahnya, namun beban dan kewajiban yang diberikan sungguh tidak sebnding dengan karunia yang diterimanya. Dengan bahasa lain tidak akan pernah cukup ibadah atau pengabdian seorang hamba untuk menebus karunia yang pernah ia terima dari Tuhannya. Kendatipun Allah swt berkehendak memikulkan beban kepada hamba-Nya, namun jika beban standar yang dipikulkan itu tidak mampu dilaksanakan oleh hamba-Nya, maka akan ada pengecualian atau rukhsoh sehingga beban dilakukan sesuai kemampuan yang bersangkutan. Di dalam al-Qur`an surat al-Baqoroj 2: 268 Allah swt berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
Di dalam surat al-Nisa` 4 : 28 juga ditegaskan dan diakui bahwa Allah swt bermaksud meringankan beban manusia berdasarkan pertimbangan bahwa manusia, disamping kemliaannya, memiliki kekurgan dan kelemahan.
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ اْلاِنْسَانُ ضَعِيفًا(28)
Memang harus disadari dan diakui, bahwa betapapun mulianya manusia dalam ciptaan Allah Allah swt, tetap saja ada kelemahan dan kekurangan yang menyertainya. Kiranya kelemahan itu sudah terbukti sejak orang tua kita Adam dan Hawa tinggal di surga. Diantara kelemahan manusia adalah terkadang tidak mampu menghadapi dan menahan godaan sebagai mana dialami oleh leluhur kita Adam dan Hawa. Ketidakmampuan menahan godaan setan menggiring mereka berdua terusir dari singgasana surga lalu tercampak ke dunia.
Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan akhir-akhir ini, tidak sedikit diantara kita orang yang terjerembat kelembah kehinaan dan kesengsaran karena terseret oleh dahsyatnya arus godaan dunia.
Hal lain yang sering menjatuhkan martabat dan kemuliaan manusia adalah tiga serangkai sifat buruk, yaitu العجب, والتكبر, والتفاخر (ujub sombong, merasa bangga dengan diri sendiri). Sifat ujub dimulai dari kegemaran kita melihat dan memuji diri sendiri dengan memfokskan pada kelebihan dan dan keberhasilan (prestasi) tanpa membanding-bandingkan dengan orang lain. Ujub ini apa bila ditambah dengan keemaran merandahkan orang lain, maka  ujub itu meningkat kualitasnya menjadi takabur. Apa bila takabbur ditambah dengan kebanggaan-kebanggaan yang berlebihan makan menjadilah ia soifat tafakhur. Ketiga sikap yang berjenjang ini merupakan penyakit hati yang dahsyat, yang apa bila sudah tumbuh di dalam hati tidak mudah mengatasi apa lagi membasminya.
Sebagai contoh proses lahirnya ujub, takabbur, dan tafakhur dapat dilihat pada ungkapan berikut ini: “Sungguh hebat saya ini, hartaku berlimpah, amal solehku banyak, dosaku sedikit”. Di saat itu dia sudah mengantongi sifat ujub. Namun jika ia berkata: “Aku ini hebat, aku lebih kaya dari pada si fulan, dia itu miskin, amal solehku lebih banyak dari dari dia sementara dosanya labih banyak dari dosaku”, maka ketika itu ujubnya sudah meningkat menjadi takabbur. Apa bila ia perkataannya ia lanjutkan dengan: “Kamu tidak usah mimpi untuk menyaingi kekayaan dan amal solehku, karena kamu tidak akan mampu”, maka sesungguhnya pada waktu itu ketakabburan yang bersangkutan telah meningkat menjadi tafakhur.
Orang yang memiliki tiga sifat buruk diatas pada mulanya bermaksud untuk menambah kemuliaan dan martabatnya, tetapi sesungguhnya ujub dan kesombongan itu sepanjang sejarah telah terbukti justru akan menjatuhkan kemuliaan dan martabat kemanusiaan. Firun dan Namrud merupakan dua contoh korban kesombongan dan keangkuhan.
Betapapun kecilnya kesombongan atau ketakabburan yang bersemayam di lubuk hati kita, kiranya tetap akan membawa dampak buruk bagi diri dan keluarga, serta lingkungan. Sungguh kesombongan akan membuahkan kebencian dan ketidaksenangan dan bahkan akan memunculkan sikap anti pati mansuia lain terhadap dirinya. Lebih dari itu, Allah swt menyatakan ketidaksukaannya terhadap orang-orang yang sombong. Firman-Nya dalam al-Qur`an surat al-Nahl 16 : 23:
لاَ جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ(23)
Dalam surat al-Nahl 16 : 29 lebih tegas Allah swt berfirman:
فَادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَلَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ(29)
Sebagai mana diuraikan di atas bahwa ifat sombong itu datangnya perlahan-lahan sehingga sering tidak terasakan, bahkan hampir-hampir tidak disadari. Kesombongan itu menyelinap dibilik hati kita, terkadang berbaju keindahan, terkadang berbusana kekuatan dan terkadang tampil seperti satria penolong, dan bahkan terkadang hadir sebagai orang yang mengerti agama dan berupaya melawan syri’at dengan berpura-pura mengkajinya. al-Mu’min 40 : 56
إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْـطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ(56)
Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ttentang ayat-ayat Allah swt tanpa aargumn yang sampai kepada mereka, tidak ada dalam dada mereka kecuali (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tidak akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah swt. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Mereka yang di dalam hatinya, baik disadari maupun tidak disadari, terdapat benih-benih kesombongan, sekecil apapun adanya, niscaya tidak akan diperkenankan Allah swt mencicipi syurga apa lagi memasukinya. Mari kita secara bersama-sama memperhatikan sabda Rosulullah saw yang dinukil dalam sebuah hadis beliau:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.
Lebih tegas lagi firman Allah dalam al-Qur`an surat al-Mu’min 40 : 76 yang berbunyi:
ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ(76)
Hadirin
Penjelasan ayat-ayat dan hadis di atas kiranya cukup untuk mengingatkan kita jika kita belum terkonstaminasi oleh bibit-bibit kesombongan. Begitu pula dengan muatan ancaman yang terkandung dalam ayat dan hadits ini kiranya memadai untuk menyadarkan kita apa bila di dalam hati kita telah tercemar oleh virus-virus kesombongan. Rasa takut kita terhadap dahsyatnya siksa neraka mungkin akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kesombongan, sementara kerinduan yang mendalam kita kepada kenikmatan syurga akan menjadi pertimbangan bagi kita untuk segera meninggalkan dan menjauhi kesombongan yang sesunguhnya tidak pernah menguntungkan.
Karena takut akan siksa akibat dari kesombongan, seorang sahabat, ketika mendengar hadis di atas lalu bertanya dan meminta penjelasan lebih lanjut dari Rosulullah saw. Sahabat itu berkomentar:
إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ اَنْ يَكُوْنَ ثَوْبَهُ حَسَنًا وَنَعْلَهُ حَسَنَةً
Mendengar komentar sahabatnya itu lalu Rosulullah saw memberikan penjelasan singkat tetapi memuaskan melalui sabda beliau:
قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ, اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ (مسلم)
Hadirin
Untuk membentengi diri dari intervensi kesombongan dalam bersikap dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari, sebaiknya, bahkan seharusnya, kita memilih dan membangun sikap tawadlu’ di dalam diri kita masing-masing. Kembali kepada sikap tawadlu’ merupakan langkah yang bijaksana dan terpuji serta aman dan menyenangkan, lebih-lebih bila dihubungkan dengan keadaan kehidupan di zaman modern yang penuh dengan godaan yang menyilaukan.
Hadirin
Tawadlu’ adalah suatu sikap yang menunjukkan kerendahan hati seseorang. Dengan demikian tawadlu’ merupakan lawan dari sikap tinggi hati. Sikap tinggi hati selalu muncul dalam bentuk kesombongan. Oleh karena itu, tawadlu’ bukanlah sikap atau rasa rendah diri, tetapi tawadlu’ adalah lawan dari ujub, takabbur, dan tafakhur. Memilih tawadlu’ berarti menghindari ujub membuang takabbur dan memusnahkan tafakhur, mengambil ujub, takabbur dan tafakhur berarti mencampakkan tawadlu’. Kalau ujub, takabbur, dan tafakhur akan mendorong orang untuk masuk neraka, maka tawadlu’ berarti menutup salah satu pintu neraka.
Untuk menguraikan pengertian tawadlu’ sehingga menjadi jelas da konkrit tentulah tidak mudah, karena tawadlu’ pusatnya berada di dasar hati yang terdalam. Yang paling memungkinkan adalah menjelaskan fenomena-fenomena yang menunjukkan sebuah sikap tawadlu’ atau sikap rendah hati yang ada pada seseorang. Untuk mengurai penjelasan itu dalam sebuah pertanyaan dikatakan: “Kapan seseorang dapat disebut bersifat tawadlu’ atau rendah hati”? orang bijak akan menjawab: “Ketika seseorang merasa tidak memiliki kelebihan padahal sesungguhnya dia lebih dan tidak merasakan adanya orang yang lebih rendah dari pada dirinya kendatipun sesungguhnya di lebih tinggi dari orang lain, dia tidak akan tampil berlebihan sekalipun sesungguhnya dia mampu melakukannya. Ia lakukan segala sesuatunya semata-mata karena ketundukan mereka kepada Allah swt.
Keikhlasan itu pula yang menyebabkan yang bersangkutan berhak menerima ganjaran dan penghargaan yang amat tinggi dan prestisius dari Allah swt
من ترك اللباس تواضعا لله تعلى وهو يقدر عليه دعاه الله يوم القيامة رؤوس الخلائق حتى يُخَيِّره من ايِّ خُلَلِ اْلإِيمان شاء يلبسه (الحاكم)
Untuk menjelaskan lebih dalam tentang tawadlu’ saoyidina Umar bin Khottob ra menjelaskan:
قال عمر ابن الخطاب: رأس التواضع أن تبتدئ بالسلام على من لقيته من المسلمين, وأن ترضى بالدون من المجلس, وأن تكره أن تذكر بالبر والتقوى (درة الناصحين: 154)
Ketiga sikap diri yg dikemukakan oleh Umar ibnu Khotob ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi membutuhkan latihan yang intensif. Ditengah kehidupan yang cenderung matererialistis ini sering kita jumpai dan kita saksikan betapa orang,  atau justru diri kita sendiri, lebih senang menjawab salam ketimbang memberi atau memulai salam. Ada kemungkinan sikap enggan memulai ini disebabkan adanya perasaan bahwa dirinya lebih tinggi dari orang lain sehingga dalam anggapannya orang lainlah yang seharusnya memulai salam kepadanya.
Juga tidak sedikit orang yang tersinggung atau merasa dilecehkan ketika ia ditempatkan dibelakang disuatu forum atau majlis karena ia merasa dirinya lebih terhormat dan lebih pantas untuk dihormati, padahal hal penempatan itu terjadi hanya karena yang bersangkutan terlambat datang. Ada pula diantara kita yg justru merasa sengan jika dirinya disebut-sebut sebagai orang baik, orang berjasa dan  lain sebagainya.
Rosulullah Saw bersabda: bertawadu’lah, dan duduklah bersama orang-orang miskin, niscaya kamu menjadi orang-orang yang besar disisi SWT dan terlepas dari sifat sombong dan angkuh.
Latihan tawadlu’ dapat diawali dengan duduk bersama dengan pembantu.untuk mendukung konsep ini ada  riwayat dari Qois bin Hazim yenjelaskan peristiwa yang dialami oleh Khalifah ke dua, Umar Ibnu Khottob; kisahnya demikian.
Saiyidina Umar Ibnu Khottob, ketika bepergian menuju kota Syam, dalam rangka kunjungan kerja, bersama dengan pembantunya dengan menunggang seekor kuda. Mereka sadar betul bahwa jika mereka berdua bersama-sama duduk menunggang kuda adalah merupakan kezoliman terhadap kuda tersebut, maka mereka berdua, Umar Ibnu Khottob dan pembantunya sepakat untuk bergilir atau bergantian menunggang kuda tersebut. Ketika memulai perjalanan Umar Ibnu Khottob mendapat giliran pertama menunggang kuda sementara pembantunya mendapat gilian pertama membimbing kuda itu. Selama dalam pejalan mereka secara rutin bergantian sesuai dengan kesepakatan. Akan tetapi keitika menjelang sampai di tujuan, dalam hal ini kotaSyam, giliran menunggang kuda jatuh kepada pembantunya, ementara Umar Ibnu Khottob mendapat giliran membimbing kuda. Tidak ada perasaan di hati mereka masing-masing kecuali ikhlas menjalankan kesepakatan yang telah mereka bangun bersama. Namun, ternyata di depan pintu gerbang kota, telah berdiri Abu ‘Ubaidah, salah seorang pembesar kota Syam yang bermaksud menyambut dengan Umar Ibnu Khottob di kota itu. Melihat kejadian, itu lalu Abu Ubaidah berkata kepada Umar Ibnu Khottob: Wahai Kholifah, para pembesar kota Syam pada saat itu berkumpul di balai sidang untuk menyambut Kholifah, maka adalah tidak pantas apa bila nanti mereka melihat kejadian ini, bagai mana komentar mereka nanti.
Mendengar perkataan yang bernuansa keluhan structural dari Abu Ubaidah itu, lalu Umar Ibnu Khottob menjawab:
إنما أعزنا الله بالإسلام, فلا أبالى من مقالة الناس .
Ternyata dalam pikiran dan prinsip Umar Ibnu Khottob bahwa rendah hati tidak akan menghinakan seseorang.
Dalam kejadian berikutnya Umar mengaplikasikan kembali sikap tawadlu’nya dengan kesediaannya memikul ember berisi air lalu diberikan kepada tetangganya demi untuk menutup rapat-rapat pintu hatinya dari invasi dan interpensi benih-benih kesombongan. Kiranya ketawadlu’an Umar telah membangun pengertian dan kesadaran bahwa pujian dan sanjungan rakyatnya dapat berakibat memunculkan sikap sombong dan angkuh pada dirinya.
Hadirin.
Untuk memperkaya hazanah kita tentang tawadlu’ ini, mari kita ungkap sekelumit wejangan Ibrohim bin Syaiban dalam kata-kata hikmahnya: “Ketinggian itu ada di dalam ketawdlu’an, kemulyaan ada di dalam ketaqwaan, kebebasan/kemerdekaan ada di dalam sikap qana’ah.


الخطبة الثانية
الحمد لله حمدا حامدين والشكر لله شكرا شاكرين – اشهد أن لاإله الله المالك الحق المبين – وأشهد أن محمدا عبده صادق الوعد الأمين – اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد خاتم الأنبياء والمرسلين وعلى آله وأصحابه أجمعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين – أما بعد فياعباد الله – إتقوا الله ولا تموتن إلا وأنتم متمسكين بالدين.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم, ونفعني وإياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم, وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم, أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات, فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.